BEKASI SELATAN, bekasipedia.com – Terkuak hingga Desember 2019, sebanyak 155 narapidana di Bekasi terinfeksi HIV/AIDS (ODHA). Mereka terkena virus yang mematikan itu lewat penggunaan jarum suntik berisi narkotika secara bergantian hingga perilaku seks bebas.
Demikian diungkapkan Ketua Jaringan Indonesia Positif, Festika Rosani seperti dilansir Jumat (1/3/2019). ia mengatakan, mereka terkena virus itu sebelum masuk ke sel tahanan.
Saat memasuki lembaga pemasyarakatan (lapas), kesehatan mereka diperiksa dan dinyatakan menderita HIV/AIDS.
“Saat dinyatakan menderita HIV/AIDS, mereka langsung mendapat pendampingan khusus untuk diberikan konseling selama menjalani masa tahanan,” kata Festika.
Menurut dia, pendampingan diberikan agar mereka semangat dalam menjalani kesehariannya, sekaligus diberikan pemahaman supaya virus tidak berkembang ke tahanan lain.
Dari 155 ODHA itu, tercatat sudah 115 orang yang menjalani antiretroviral (ARV), sedangkan 40 orang lagi belum menjalani pengobatan itu.
“ARV merupakan pengobatan untuk perawatan infeksi oleh retrovirus, terutama HIV,” jelasnya.
Saat ini, kata dia, lokasi pengobatan untuk para penderita ODHA sudah tersebar di Kota dan Kabupaten Bekasi.
Untuk di Kota Bekasi saja sudah ada tiga klinik yang melayani pengobatan pengidap HIV. Diantaranya RSUD Kota Bekasi, RS Elisabeth, dan RS Ananda.
“Mereka bisa berobat di tiga rumah sakit tersebut. Mudah-mudahan ke depan bisa lebih banyak klinik lagi dibuka,” ujarnya.
Dia berharap, pada tahun 2030 mendatang kasus HIV dan AIDS bisa hilang.
Paling tidak, angka kematian yang disebabkan virus tersebut sudah tidak ditemukan lagi.
Hal itu dilakukannya dengan cara pendampingan kepada seluruh penderita ODHA.
“Target kita sampai 2030 Indonesia bebas HIV, tidak ada penularan dan tidak ada lagi diskriminasi terhadap penderita HIV-AIDS. Mereka adalah saudara-saudara kita yang harus selalu kita dukung karena kebanyakan dari mereka itu tidak mengetahui terinfeksi virus tersebut,” ujarnya.
Kepala Bidang Perawatan RSUD Chasbullah Abdul Madjid Kota Bekasi, Sudirman mengatakan, penderita ODHA yang berkunjung untuk berobat di rumah sakit milik pemerintah daerah mencapai 750 setiap bulan.
Biasanya mereka akan mendapatkan obat secara gratis, namun untuk biaya konsultasi kebanyakan dibayar secara terpisah.
Hingga kini, RSUD sudah menempatkan dokter khusus yang sudah terlatih dalam penanganan penderita ODHA, sehingga jumlah kunjungan yang datangpun sudah cukup besar.
“Ada saja pasien yang menjalani konseling di klinik RSUD, karena selain memberikan obat kami juga menyediakan layanan konseling bagi pasien,” ungkapnya. (*)