BEKASI SELATAN, BEKASIPEDIA.com – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terpaksa menunda perluasan trayek kereta api Double-Double Track (DDT) dari Kota Bekasi hingga Cikarang. Selain terganjal pembebasan lahan warga di Kota Bekasi, pemerintah juga tidak mengucurkan anggaran untuk pembebasan lahan segmen berikutnya.
Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Jakarta-Banten, Kemenhub, Jumardi mengatakan, pemerintah tidak mengucurkan anggaran untuk pembebasan lahan. Jadi, pembangunan infrastruktur DDT terpaksa ditunda.
“Setiap tahun kami mengusulkan anggarannya namun belum menjadi prioritas,” katanya kepada warawan di Bekasi, Rabu (24/4/2019)
Saat ini, kata dia, lintasan DDT yang sudah dibangun dan mulai beroperasi adalah lintas Jatinegara-Cakung sepanjang 9,5 kilometer. Sedangkan lintas Cakung-Cikarang sepanjang 12 kilometer masih menunggu proses penganggaran dari kementerian.
“Kemungkin setelah 2021 (DDT segmen Cakung-Cikarang) akan diselesaikan,” katanya.
Jumardi menjelaskan, DDT sudah dicanangkan sejak 2002 silam. Awalnya dibiayai oleh pinjaman dari badan kerja sama Internasional Jepang (JICA) dengan syarat tanah bebas 100 persen. Namun diperjalanannya, pembebasan tanah menemui hambatan sehingga Direktorat Jendral Perkeretaapian (DJKA) membiayai anggaran obligasi syariah mulai tahun 2015 silam.
“Sebenarnya jalur sudah dibangun dari Jatinegara-Kota Bekasi tetapi terputus di Kranji dan di bawah Flyover Summarecon Bekasi,” ungkapnya.
Saat ini, keberadaan DDT memang sudah sangat dibutuhkan. Sebab DDT akan menjadi jalur pemisah antara kereta rel listrik (KRL) Commuter Line dengan kereta api jarak jauh penumpang maupun barang.
“Dengan adanya masing-masing jalur, tentu tidak akan saling mengganggu karena KRL Commuter Line pasti akan menunggu kereta jarak jauh melintas terlebih dahulu,” jelasnya.
Saat ini, kata dia, memang masih ada kendala dalam proses perluasan trayek kereta api DDT di Kota Bekasi. (Baca juga: Imbas Double Double Track, Gangguan Perjalanan KRL Berlangsung 2 Hari)
Meski demikian, dana ganti rugi untuk 29 bidang tanah warga di belakang Stasiun Kranji, tepatnya di RW 02 Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Medansatria, Kota Bekasi sudah dikonsinyasikan ke Pengadilan Negeri Bekasi.
“Lahan-lahan warga sudah diproses di pengadilan dan mudah-mudahan pertengahan tahun 2019 ini selesai,” tambahnya.
Dana ganti rugi yang dititipkan ke Pengadilan Negeri Bekasi sekitar Rp7,94 miliar untuk membayar lahan seluas 1.657 meter persegi.
Pihaknya tidak mungkin melakukan penghitungan ulang seperti yang diinginkan warga. Sebab appraisal yang diterbitkan sudah menjadi ketetapan pengadilan, sehingga tidak bisa diubah karena adanya keberatan warga.
Meski demikian, Jumardi tidak mempersoalkan bila warga setempat melaporkan gugatan ini secara perdata ke Pengadilan Negeri Bekasi. Kata dia, gugatan perdata yang dilaporkan tetap diproses, namun keputusan pengadilan yang sudah inkrah juga tetap dieksekusi. Sebab, lahan warga yang belum dibebaskan itu bukan untuk rel kereta api, tapi hanya perluasan akses.
Sementara puluhan warga yang tinggal di belakang Stasiun Kranji, terutama di RW 02, Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Medansatria, Kota Bekasi menolak penghitungan ganti rugi yang dilakukan oleh tim appraisal (penilaian).
“Ada 40 Kepala Keluarga (KK) yang mendiami 29 bidang tanah di dekat Stasiun Kranji,” kata Tomas Pardede, warga setempat.
Saat ini, kata dia, mereka masih menunggu proses gugatan yang telah memasuki agenda persidangan kedua di Pengadilan Negeri Bekasi, Kota Bekasi.
“Gugatan perdata yang kami layangkan ke pemerintah pusat sudah berjalan dan telah memasuki agenda sidang kedua di Pengadilan Negeri Bekasi,” paparnya.
Pardede mengatakan, berbagai upaya sudah mereka tempuh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dari berbicara langsung ke Kemehub, Polri, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ombudsman, hingga ke Istana Presiden. Sebab, penilaian yang dilakukan oleh tim appraisal disinyalir banyak kesalahan.
Misalnya ada penyusutan luas tanah milik warga setelah dihitung. Mereka yang terkesan mengabaikan keluhan warga, lalu menitipkan atau mengkonsinyasikan uang ganti rugi tersebut ke Pengadilan Negeri Bekasi. Lewat gugatan perdata ini, Pardede berharap, agar penilaian terhadap objek tanah dan bangunan milik warga dilakukan secara ulang. (*)