Astaghfirullah! Tunjangan DPRD Kota Bekasi Nilainya Capai Rp 76 Juta Setiap Bulanannya

oleh -38 Dilihat
oleh
Gedung DPRD Kota Bekasi. (ist)

BEKASIPEDIA.com | KOTA BEKASI – Tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bekasi mencapai hingga Rp 76 juta setiap bulannya. Hal tersebut diketahui bahwa tunjangan yang diterima mulai dari Tunjangan Perumahan hingga Tranportasi.

Seperti yang ramai menjadi gedunbahan perbincangan bahwa tunjangan perumahan yang diterima Ketua DPRD Kota Bekasi menerima Rp53 juta per bulan, Wakil Ketua Rp49 juta, dan Anggota Rp46 juta.

Aturan ini tertuang dalam Perwal Bekasi Nomor 81 Tahun 2021 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD, yang masih berlaku hingga kini.

Ketua DPRD Kota Bekasi, Sardi Effendi, menjelaskan, bahwa tunjangan Perumahan DPRD Kota Bekasi tidak pernah naik sejak tahun 2021 silam.

“Selama belum ada ketentuan baru, maka masih berlaku,” jelas Sardi kepada wartawan pada Senin (8/9/2025).

Sardi memastikan, bahwa tidak ada kenaikan tunjangan apapun di DPRD Kota Bekasi pada tahun 2025 ini.

“Yang naik hanya insentif RT dan RW,” tegas Sardi.

Selain perumahan, anggota DPRD juga mendapat tunjangan transportasi yang nilainya Rp21 untuk anggota, Rp 22 juta untuk wakil ketua dan Rp23 juta per bulan untuk ketua, sesuai Perwal Nomor 37 Tahun 2024. Skema ini diterapkan karena DPRD tidak lagi mendapat fasilitas mobil dinas.

Hal serupa juga diungkapkan Sekretaris DPRD Kota Bekasi, Lia Erliani, mengatakan bahwa Tunjangan Perumahan DPRD Kota Bekasi tercatat tidak naik sejak 2021. Untuk besaran nilainya yaitu Ketua DPRD menerima Rp53 juta per bulan, wakil ketua Rp49 juta, dan anggota Rp46 juta.

Aturan ini tertuang dalam Perwal Bekasi Nomor 81 Tahun 2021 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD, yang masih berlaku hingga kini. “Selama belum ada ketentuan baru, maka masih berlaku,” kata Sekretaris DPRD Kota Bekasi, Lia Erliani.

Sementara itu pengamat dari Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP), Riko Noviantoro, menilai besaran tunjangan itu sah secara regulasi, namun tidak sejalan dengan kondisi masyarakat.

“Beban rakyat terlalu besar. Meskipun legal, praktiknya harus menyesuaikan dengan situasi sosial ekonomi yang masih sulit,” tegasnya. (pede/ist)