JAKARTA, BEKASIPEDIA.com – Ikut merayakan demokrasi dengan mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) untuk mencoblos surat suara pada 17 April merupakan tekad yang bulat bagi sejumlah nelayan di Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Daerah yang dikenal sebagai kampung nelayan itu merupakan tempat bertemunya para nelayan dari berbagai daerah di Indonesia. Sebagai ekspresi menghadapi Pemilu 2019, mereka pun ramai-ramai mengaku tidak akan berlayar ke laut bebas pada hari pencoblosan.
Dengan kata lain, mengorbankan beberapa hari pekerjaannya demi memilih calon presiden, calon wakil presiden serta para wakil rakyat lainnya pada 17 April 2019 nanti, sudah merupakan bagian dari partisipasi seorang anak bangsa dalam perjalanan sejarah Indonesia.
Biasanya, sebelum hari pemungutan suara, para nelayan yang membongkar hasil tangkapan ikan di daerah Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara akan pulang ke kampung halaman masing-masing untuk memberikan hak politik.
“Ini bukti rasa nasionalisme saya pada negara dengan tekad memilih,” kata Wario, warga asal Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat yang telah menjadi nelayan selama 25 tahun terakhir.
Meskipun harus mengorbankan mata pencaharian, ia bersama nelayan lain mengaku tidak merasa rugi karena momentum itu penting demi kemajuan bangsa.
Selain ingin membuktikan rasa nasionalisme kepada Ibu Pertiwi, memilih calon pemimpin masa depan juga dianggap sebagai kewajiban karena hanya dilaksanakan satu kali dalam lima tahun.
Pria yang juga merupakan juru masak kapal itu mengaku telah mulai menggunakan hak suaranya sejak era Presiden Soeharto.
Ia memilih sikap tersebut atas dasar besarnya harapan pada calon-calon pemimpin bangsa di masa datang.
Sebagai bagian dari kelompok masyarakat, para nelayan menaruh asa kepada presiden terpilih kelak untuk lebih menyejahterakan kehidupan mereka.
Sederet harapan yang mereka topangkan di antaranya meminta pemerintah untuk mempermudah pengurusan surat-surat untuk melaut, menstabilkan harga jual ikan terutama saat hasil tangkapan membludak, serta menyediakan bahan bakar minyak khususnya solar dengan harga terjangkau.
Apalagi saat ini harga jual ikan kepada pedagang terbilang murah sehingga mempengaruhi perekonomian para nelayan.
“Kami juga ingin pemerintah tidak lagi melarang nelayan berlayar ke suatu pulau. Kami tidak berniat merusak, melainkan hanya mencari ikan untuk kelangsungan hidup,” ujar dia.
Antusiasme untuk mencoblos surat suara juga disampaikan oleh Dadang (31), nelayan asal Cirebon, Provinsi Jawa Barat.
Bagi dia, memilih calon pemimpin untuk lima tahun ke depan merupakan suatu kewajiban sebagai warga negara yang baik, apalagi momentum tersebut hanya satu kali dalam lima tahun.
Dadang sesungguhnya berat hati tidak melaut pada hari pencoblosan, karena dia harus memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Namun, jika pemerintah bersedia meringankan beban ekonomi pada hari tersebut, para nelayan memastikan dirinya kembali ke darat untuk memberikan hak suara.
Ia mengisahkan, untuk satu kali melaut yaitu selama seminggu di laut lepas ia bersama enam orang nelayan lainnya harus mengeluarkan biaya hingga Rp8 juta.
“Kami memang antusias untuk memilih, namun kebutuhan ekonomi juga harus dipenuhi apalagi biaya akomodasi cukup besar,” katanya.
Untuk itu, kepada presiden terpilih periode 2019-2024, ia berharap ekonomi masyarakat lebih membaik khususnya para nelayan-nelayan kecil. Karena mereka belum merasakan kesejahteraan sepenuhnya selama ini khususnya masalah ekonomi.
“Bayangkan saja, kami harus meninggalkan anak dan istri selama dua bulan. Saat pulang ke rumah, kami hanya membawa uang maksimal Rp4 juta, itu pun kalau hasil tangkapan banyak,” ujar Dadang.
Terkait siapa calon pemimpin atau presiden yang akan dipilih, para nelayan di daerah itu mengaku sudah memiliki pilihan masing-masing namun enggan untuk menyebutkan.
Salah seorang penanggung jawab nelayan di Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, Alimi mengatakan di lokasi itu terdapat puluhan nelayan yang singgah dari berbagai daerah untuk menjual hasil tangkapannya.
Setiap pemilu berlangsung, para nelayan biasanya memilih pulang ke kampung halaman masing-masing untuk memberikan hak suaranya ketimbang pergi melaut.
“Saya sudah hampir 30 tahun membantu berbagai kebutuhan nelayan di sini dan mereka biasanya pulang kampung untuk mencoblos setiap pemilu,” kata Alimi.
Tingginya antusias para nelayan di daerah tersebut dalam menyambut Pemilu 2019 setidaknya menandakan bahwa semarak merayakan demokrasi Indonesia masih terjaga. (*)