Kasus Ustadz Cabul di Bandung, Asst Prof Dwi Seno Meminta Hakim Menjatuhkan Putusan Ultra Petita

oleh -1297 Dilihat
oleh
Ahli Pidana dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Asst Prof Dwi Seno Wijanarko, S.H.M.H, CPCLE.CPA. (ist)

BANDUNG, BEKASIPEDIA.com – Sidang kasus cabul terhadap belasan santrinya dengan terdakwa Herry Wirawan (36) guru sebuah pesantren di Bandung yang sudah menjalani sidang di Pengadilan Negeri Bandung pada Selasa 23 Nopember 2021 lalu. Dikomentari oleh Ahli Pidana dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Asst Prof Dwi Seno Wijanarko, S.H.M.H, CPCLE.CPA, terdakwa harus dihukum seberat-beratnya.

Hal tersebut diungkapkan saat pewarta meminta pendapat hukumnya di Law Firm DSW & Partners yang berlokasi di Ruko Kokan Blok C.19 Kelapa Gading Jakarta Utara pada Sabtu (11/12/2021).

Menurutnya terdakwa harus dihukum seberat beratnya. “Perbuatan terdakwa harus dihukum dengan hukuman yang seberat-beratnya sebab telah melanggar norma agama, norma kesusilaan dan norma hukum. Hakim dengan independensinya harus berani memberikan putusan Ultra Petita. Dalam menjatuhkan putusan, Hakim tidak boleh diintervensi pihak manapun. Ultra petita merupakan suatu prinsip yang menyatakan bahwa Hakim menjatuhkan putusan keluar dari tuntutan atau melebihi tuntutan penuntut umum putusan hakim. Artinya hakim harus juga melakukan terobosan hukum (Rechvinding) dengan memutus di atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Jika dihubungkan dengan asas nulla poena sine lege dalam memberi batasan pada hakim dihubungkan dengan Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman: Asas nulla poena sine lege terdapat dalam pasal 1 KUHP guna memberikan batasan agar hakim tidak sewenang-wenang dalam memberikan putusan pemidanaan, akan tetapi dalam praktiknya di sini menurut saya  hakim bebas memberikan putusan. Asas nulla poena sine lege merupakan warisan Belanda tidak selaras dengan Pasal 4 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, praktik pengadilan selama ini menunjukkan bukti bahwa hakim dapat juga menjatuhkan hukuman denda atau ganti rugi daripada yang dituntut oleh jaksa, menimbang dari peristiwa hukum yang sangat keji itu menutup hemat saya hakim harus memutus  di atas tuntutan Jaksa/memvonis terdakwa dengan seberat beratnya dan kalau perlu harus juga dengan hukuman kebiri,” tutup Asst.Prof. Seno.

Sementara itu seperti diketahui pada sidang lanjutan berlangsung di ruang sidang anak yang digelar Majelis Hakim diketuai, Y.Purnomo Suryo Adi, secara tertutup dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi.

Menurut  Jaksa Penuntut Umum, Agus Murjoko usai sidang, sebanyak tiga orang saksi yang dimintai keterangan pada sidang tersebut semuanya merupakan korban.

Sebanyak tiga orang korban yang diperiksa sebagai saksi, terungkap dalam persidangan tiga orang korban yang diperiksa mengaku telah dihamili  oleh terdakwa dan telah melahirkan anak. “Bahkan salah seorang korban telah dua kali melahirkan akibat perbuatan terdakwa,” ujar Agus.

“Dari 13 orang korban kita telah periksa 10 orang, 5 orang telah melahirkan anak dari hubungan dengan terdakwa.”

Perbuatan cabul itu, kata Agus Murjoko, dilakukan terdakwa di beberapa tempat, sejak tahun 2016 sampai dengan tahun 2021 sebanyak 13 orang anak di bawah umur telah menjadi korban pencabulan oleh terdakwa.

Dalam melakukan aksinya bermacam cara dilakukan terdakwa, bujuk rayu, minta dipijit, kemudian dalam keadaan tak berdaya anak yang masih di bawah umur tersebut diminta untuk melayani nafsu sexnya, dengan alasan sudah lama tidak mendapat pelayanan dari istrinya kemudian korban yang merupakan anak-anak dari keluarga yang kurang mampu tersebut, di iming-iming mau dibiayai kuliah, jelas Agus.

Untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya tedakwa dijerat dengan pasal 81 ayat (1) dan (3) pasal 76 D UU RI no. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas undang undang no 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak Jo pasal 65 ayat (1) KUHP maksimal 20 tahun penjara. (obin)