Jeritan Janda Tua Penghuni Pertama Perumahan Bougenville yang Digusur

oleh -1084 Dilihat
oleh
Sebut saja seorang ibu bernama Atih (62) telah menangis setelah membereskan sejumlah perabot di rumah mungilnya yang digusur pada Kamis (25/7/2019) lalu. (ist)

BEKASI BARAT, BEKASIPEDIA.com – Sebut saja seorang ibu bernama Atih (62) telah menangis setelah membereskan sejumlah perabot di rumah mungilnya yang digusur pada Kamis (25/7/2019) lalu. Ya, rumah yang awalnya merupakan rumah dinas suami Atih itu masuk dalam 74 bangunan yang digusur Kementerian PUPR melalui Pemerintah Kota Bekasi di Jalan Bougenville Raya RT 001 RW 011, Jakasampurna, Bekasi Barat, Kota Bekasi, Jawa Barat.

Alasan penggusuran adalah pengamanan aset negara dan normalisasi DAS (daerah aliran sungai) Jatiluhur. “Dulu suami saya bekerja di Kementerian PUPR jadi sopir Ditjen Pengairan. Asalnya mau dikasih rumah di bendungan, tapi enggak mau karena anak saya banyak. Akhirnya diarahkan oleh Perusahaan Otorita Jatiluhur di sini,” ujar Atih seperti dilansir Senin (29/7/2019).

Atih menunjukkan dua berkas surat sebagai bukti bahwa tempat tinggalnya merupakan hasil penunjukan dari pemerintah sebagai bentuk apresiasi terhadap bakti suaminya saat itu. Kini, suaminya telah tiada. Atih mengaku, sempat menunjukkan surat tersebut ke Pemkot Bekasi agar rumahnya tidak digusur, tetapi diabaikan.

“Enggak dapat tanggapan, mereka bilang semua harus dibongkar,” ucap Atih.

Atih mengaku sudah 33 tahun mendiami lahan yang sudah digilas backhoe hingga rata dengan tanah. Saat pertama kali tinggal di sana, hanya ia dan suaminya yang menetap. “Sudah 33 tahun di sini. Nenek maunya tinggal sini dulunya (daripada di bendungan), lega halamannya, dulunya ini hutan. Pindahnya saja jam 10 malam, karena Nenek malu pindah ke hutan,” kenang Atih.

“Dulunya suruh jaga lahan dari ujung sono sampai sono, di pagar. Tapi lama-lama kan banyak penghuni entah dari mana. Kita kena imbasnya juga dibongkar,” tambahnya.

Atih mengaku tak bisa memilih tinggal di tempat lain karena tak punya uang untuk mengontrak rumah. Ia beberapa kali bertahan meskipun rumah mungilnya terendam banjir karena posisinya dekat dengan lahan yang dulunya rawa. “Sekarang mah enggak banjir. Dulu mah iya sedada, namanya rawa. Nenek saja bertahan terus banjir, karena nenek enggak bisa ngontrak,” ujar Atih.

Direlokasi ke Rusun

Atih mendengar kabar bahwa dirinya akan direlokasi ke Rusunawa Bekasi Jaya setelah digusur. Namun, ia merasa cemas. “Nenek nyari duit harus gimana. Dulu minta sono, minta sini kadang-kadang nenek jualan jamu. Namanya jamu lakunya berapa sih. Nenek kan kakinya enggak kuat jalan lagi sekarang banyakan di rumah,” kata Atih sambil menitikkan air mata.

“Nenek sendiri yang nyari duit, sudah tua kalau tinggal di rusun bagaimana?”imbuhnya.

Faktor usia dan kesehatan jadi sebab kegusaran Atih. Tinggal di rumah susun, di mana seseorang harus naik-turun tangga, tak sesuai dengan kondisi kesehatannya. Ia juga merisaukan masa depannya jika tinggal di rusun. Pasalnya, ia akan tinggal sendirian dan tak punya kenalan. Sedangkan ia banyak membutuhkan bantuan.

“Nenek jalan kurang sehat. Kalau jauh-jauh di rusun nanti nenek makannya gimana? Nenek sendirian. Kalau di sini kan istilahnya Nenek banyak temen, cucu, saudara, bisa minta dianterin,” kata Atih.

“Nenek di sono ngerinya kalau nyari makan susah kalau enggak ditanggung pemerintah. Kan nenek enggak bisa kemana-mana, jauh mesti naik-turun mobil. Nenek kan sudah enggak kuat lagi kakinya,” ia menambahkan.

Kekhawatirannya bertambah karena di rusun lokasi tinggalnya sempit. Sedangkan di rumahnya yang digusur, masih ada beberapa ruang lain untuk tempat tinggal tiga orang anaknya yang keterbelakangan mental dan pengangguran. “Anak nenek 1 enggak kerja, bangkrut dia rental. Tiga meninggal. Yang tiga lagi sama Nenek enggak ada kerjaannya, keterbelakangan mental,” kata Atih.

Tidak bisa dielakkan backhoe pun menyasar rumah mungil Atih. Dalam sekejap, rumah berusia 33 tahun itu jadi puing-puing. “Penginnya punya rumah sendiri yang aman, seperak saja. Enggak digusur sono enggak digusur sini, penginnya aman. Enggak apa- apa berjubel-jubel juga,” tutup Atih.

Atih mengaku tak bisa memilih tinggal di tempat lain karena tak punya uang untuk mengontrak rumah.

Ia beberapa kali bertahan meskipun rumah mungilnya terendam banjir karena posisinya dekat dengan lahan yang dulunya rawa.

“Sekarang mah enggak banjir. Dulu mah iya sedada, namanya rawa. Nenek saja bertahan terus banjir, karena nenek enggak bisa ngontrak,” ujar Atih. (*)