PEMILU 2024 telah usai. Suara rakyat telah terkumpul, suara rakyat telah dihitung, dan keputusan politik akhirnya ditetapkan. Di tengah euforia atau mungkin kelelahan pasca-pesta demokrasi lima tahunan, sebuah pertanyaan kerap muncul: “Lalu, apa yang dilakukan Bawaslu sekarang?”
Pertanyaan itu wajar, namun sekaligus mengungkap sebuah persepsi yang perlu kita koreksi bersama: bahwa demokrasi, dan para penjaganya, hanya bekerja pada masa tahapan pemilu.
Anggapan ini berbahaya karena mempersempit demokrasi sekadar menjadi event seremonial, bukan sebagai sebuah proses dan budaya bernegara yang hidup dan terus bernapas setiap hari.
Faktanya, justru di masa non-tahapan pemilu inilah kerja substantif untuk mengokohkan demokrasi menemukan momentumnya.
Data dari berbagai kajian pasca-Pemilu 2024, termasuk survei LSI dan Indikator Politik Indonesia, menunjukkan setidaknya dua tantangan besar: Tingkat partisipasi pemilih pemula yang fluktuatif dan Polarisasi sosial-politik yang belum sepenuhnya mereda.
Keduanya adalah indikator bahwa bangunan demokrasi kita masih memerlukan perawatan yang lebih rutin, tidak hanya perbaikan saat akan digunakan.
Menjawab kondisi inilah, Bawaslu Kota Bekasi kini memfokuskan energi pada pendidikan politik berkelanjutan. Program kami seperti “Kelas Demokrasi” dan “Literasi Politik” yang masuk ke sekolah-sekolah dan kampus-kampus bukanlah kegiatan sampingan. Itu adalah misi inti.
Sasaran utama kami adalah generasi Z dan milenial, yang menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Pemilu 2024 menyumbang sekitar 30–40% dari daftar pemilih tetap. Mereka adalah arus utama demokrasi Indonesia masa depan.
Tujuan kami jelas dan terukur: meningkatkan kecerdasan politik (political efficacy). Artinya, kami ingin setiap anak muda tidak hanya tahu cara mencoblos, tetapi memahami mengapa mereka mencoblos, bagaimana memilih berdasarkan platform kerja dan track record, bukan sekadar ikutan atau terpengaruh buzzer.
Kami ingin mereka paham bahwa pengawasan pemilu bukanlah urusan Bawaslu semata, tetapi hak dan kewajiban seluruh warga negara. Inilah cara membangun partisipasi yang berkualitas, bukan sekadar kuantitas di bilik suara.
Data historis menunjukkan, demokrasi yang sehat dibangun dari masyarakat yang melek proses, kritis, dan terlibat aktif dalam seluruh siklusnya bukan hanya pada hari-H.
Melalui kelas-kelas ini, kami juga secara tidak langsung berupaya mempersempit ruang hoaks dan polarisasi ekstrem dengan memberikan informasi yang benar tentang mekanisme demokrasi dan nilai-nilai kebangsaan.
Oleh karena itu, komitmen kami di masa “sepi” ini justru lebih teguh: merawat demokrasi sejak usia dini. Bawaslu bertekad untuk tetap menjadi pilar dan pejuang demokrasi yang konsisten dengan semangat Reformasi.
Semangat itu bukan hanya tentang menjatuhkan rezim otoriter, tetapi tentang membangun tata kelola politik yang partisipatif, adil, dan berintegritas untuk selamanya.
Maka, jika ada yang bertanya, “Apa yang dilakukan Bawaslu sekarang?” Jawabannya tegas: Kami sedang menanam benih.
Benih pemilih yang cerdas, benih masyarakat yang kritis, dan benih budaya demokrasi yang lebih dalam. Karena sesungguhnya, demokrasi tidak hanya milik hari pemungutan suara. Demokrasi adalah napas keseharian bangsa, dan itulah yang kami perjuangkan setiap saat. (*)
Penulis: Jhonny Sitorus, S.Sos – Koordinator Devisi Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Kota Bekasi.

Dapatkan berita dan informasi menarik lainnya di Google News dan jangan lupa ikuti kanal WhatsApp BEKASIPEDIA agar tak ketinggalan update berita menarik setiap hari.





