Bujug! Kades Cibuntu Diduga Jadi Pelaku Pungli PTSL, Total Pungutan Ditaksir Rp1,8 Miliar Dijebloskan Penjara

oleh -4133 Dilihat
oleh

CIBITUNG, BEKASIPEDIA.com – Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi kembali menangkap seorang kepala desa lantaran telah menggelembungkan biaya pengurusan tanah pada program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).

Biaya yang seharusnya Rp150.000 dinaikkan berkali-kali lipat bahkan menjadi Rp1.5 juta.

Praktik pungutan liar itu diduga dilakukan oleh Kepala Desa Cibuntu, Kecamatan Cibitung, AR.

Kejaksaan menangkap AR dengan barang bukti uang hasil pungutan sebesar Rp1.813.200.000.

Namun, diduga masih terdapat hasil pungutan lainnya dengan nilai mencapai belasan miliar rupiah.

“Ini merupakan salah satu komitmen Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi dalam rangka mendukung Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia dalam pemberantasan mafia tanah,” kata Kepala Seksi Pidana Khusus, Barkah Dwi Hatmoko seperti dilansir Selasa (13/9/2022).

Menurut Hatmoko, AR ditahan setelah menjalani pemeriksaan yang dilakukan pekan lalu.

Dari hasil pemeriksaan tersebut, penyidik mendapati cukup bukti hingga akhirnya menetapkan AR sebagai tersangka.

Ada penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan perangkat desa tersebut dengan permintaan sejumlah uang dalam penyelenggaraan PTSL pada Desa Cibuntu tahun 2021. “AR kami tetapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan,” ucap Hatmoko.

Berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan pihaknya, kata Hatmoko, Desa Cibuntu memperoleh alokasi pengurusan PTSL sebanyak 5.800 bidang tanah.

Sesuai ketentuan pusat, setiap warga dibebankan Rp150.000 untuk pengurusan tanah tersebut.

Hanya saja, AR diketahui mengumpulkan seluruh perangkat desa hingga ke tingkat RT untuk menyusun ulang tarif PTSL tersebut.

Hasilnya, terjadi permufakatan jahat di mana tarif PTSL naik menjadi Rp400.000 per bidang tanah. Akan tetapi, tarif itu hanya untuk pengurusan tanah dengan nama pada alas bidang sesuai dengan pemohon.

Sedangkan, warga yang nama pada alas bidangnya tidak sama dengan pemohon ditetapkan tarif jauh lebih besar yakni Rp1.5 juta per 100 meter persegi tanah.

“Jadi kalau yang tanahnya belum atas nama pemohon, ada tarifnya lagi Rp1,5 juta tapi bukan per bidang melainkan per 100 meter persegi. Maka kalau tanahnya lebih, maka tarifnya naik lagi,” ucap dia.

Selain jumlah tarif yang jauh lebih besar itu pun, pemohon kembali dibebankan tarif PTSL sebesar Rp400.000.

“Jadi untuk yang tanahnya 100 meter atau di bawahnya tarifnya Rp1,5 juta ditambah Rp400.000 jadi Rp1,9 juta,” kata Hatmoko, menambahkan.

Kemudian terdapat tarif lainnya yakni bagi pengurus desa. Bila pengurus desa hendak mengurus tanah tapi alas bidangnya tidak sesuai, dikenai tarif lebih murah yakni Rp 1.000.000 per 100 meter persegi tanah.

“Namun itu pun tetap ditambah yang Rp400.000,” ucap dia.

Dengan praktik tarif yang selangit itu, lanjut Hatmoko, pihaknya mendapati hasil pungutan yang dilakukan oleh AR sebesar Rp1,8 miliar. Jumlah itu didapat dari pungutan Rp400.000.

Di luar itu, didapati pula permohonan balik nama sertifikat dengan total luas tanah mencapai 972.930 meter persegi.

Dengan tarif Rp1,5 juta per 100 meter persegi yang ditetapkan AR, ditaksir hasil pungutan yang didapat mencapai lebih dari Rp14,5 miliar.

“Total nilai pasti dari hasil pungutan masih dilakukan pendalaman,” ucap Hatmoko.

Atas pungutan yang dilakukan, AR disangkakan pasal 12 huruf e subsidair pasal 11 Undang-undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (pr/jek)